“ Society 5.0 dan Industry 4.0 ” : Platform dan Akseleran Provinsi Jawa Timur menjadi Lumbung Biogas Nasional ?
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, mencapai 400 GW. Dan sangat penting untuk mengatur sistem pemanfaatan energi dengan melakukan langkah-langkah strategis dalam mengatur (pemanfaatan) energi ini
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia
Suatu pernyataan yang manis perihal energi terbarukan oleh Bapak
Menteri, orang yang selalu disibukkan akan dinamisasi tata kelola pemanfaatan
keenergian di negeri ini, khususnya energi terbarukan. Hanya dengan menukil
satu induk kata dari berbagai varian energi terbarukan, yakni“bio-energy”, terlahirlah
semangat melakukan eksploitasi dan manajemen potensinya yang menghasilkan
berbagai jenis bentuk energi, seperti biofuel, biogas, dan biomassa. Pantaslah
pelabelan "Lumbung Bioenergi
Dunia" segera
negeri ini dapatkan mengingat potensi bioenergi yang dapat dihasilkan menduduki
peringkat 4 terbesar di Indonesia yakni sebesar 32.6 GW. Sangat menarik jika
pendalaman parsial terkait pengaturan pemanfaatan bioenergi , energi yang
sangat dekat dengan kita, direncanakan serta dikalkulasi secara optimal
sehingga tersuratnya kreativitas ide pemodelan manajemen energi yang
terspesialisasi.
Terlahir di Jawa Timur, sangat dekatlah diri terhadap rutinitas masyarakat pedesaan, yang uniknya sudah secara eksperimental memanfaatkan bioenergi yang erat kaitannya dengan kotoran sapi. Aromanya sedikit menjijikkan, tetapi kontribusinya terhadap roda perekonomian masyarakat tidak bisa dianggap sebelah mata. Bioenergi tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah biogas. Biogas merupakan salah satu produk bioenergi yang diproduksikan dari fermentasi bahan organik, seperti kotoran hewan, dan limbah organik. Banyaknya limbah organik di Jawa Timur, membuat biogas diproyeksikan potensinya mampu turut andil dalam menciptakan energi yang sustainable. Kotoran sapi menjadi limbah organik yang paling lumrah bagi masyarakat Jawa Timur sebagai implementasi biogas yang kelak, LPG akan digantikan olehnya. Masifnya kepemilikan dan peternakan sapi, bahkan di beberapa daerah hampir setiap keluarga tak luput dari memiliki sapi pribadi, yang tinggal bersebelahan dengan rumah mereka. Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2017, Jawa Timur menjadi provinsi terbesar sebagai pabrikan sapi yakni hampir 30% total jumlah sapi nasional. Disamping itu, pemanfaatan biogas yang direalisasikan dalam bentuk instalasi reaktor biogas, Jawa Timur menorehkan prestasi yang gemilang. Terdapat 7.293 dari 20.000 total reaktor biogas skala nasional atau sekitar 36% kontribusi nasional. Secara eksplisit Jawa Timur memang sukses menjadi pilar utama transformasi dan promotor biogas . Namun, dibalik itu terselipkan dua problematika mendasar; tidak efisiennya integrasi jaringan biogas dan instabilitas jumlah gas yang diproduksikan. Dua hal ini akan menuntun kearah ketidakpastian kualitas bussiness model yang terbentuk. Dampaknya, social acceptance rendah dan stagnansi dari pengoptimalan bahan baku yang tersedia, sehingga akselerasi realisasinya melambat dan dikhawatirkan biogas tidak punya andil dalam mendukung target bauran energi tahun 2025 pada Rencana Umum Energi Nasional ( RUEN ). Sehingga perlunya inovasi yang solutif, karena percuma kaya sumber daya tapi miskin inovasi, ibarat nyala bara di awal, namun padam kemudian.
Meskipun program BIRU dan RESCO telah menjadi playmaker dan
sentra dalam inovasi skema implementasi biogas yang aplikatif, namun luputnya
sentuhan terhadap ranah grand design perencanaan klasterisasi
terintegrasi biogas dalam skala yang lebih luas. Di samping itu,
ranah digitalisasi dalam konteks IoT belum juga tersentuh sama sekali meskipun
Jawa Timur menempati posisi ke-3 nasional indeks daya saing digital dengan skor
EV-DCI 48.0. Dua ranah inilah yang merupakan manifestasi solusi
melalui platform kebudayaan Society 5.0 yang hidup
dalam era revolusi Industry 4.0 .
Lantas, ide konseptual apakah yang dibangun dari klasterisasi
terintegrasi potensi biogas ini ? Dan sisi manakah yang dimaksud dalam
pengenaan Society 5.0 ?
Model klasterisasi yang dimaksud ialah dengan membentuk klasterisasi titik-titik biogas, yang tidak lagi berbasis sebatas wilayah administratif, namun merujuk pada 2 variabel utama, yaitu potential value biogas, yang direpresentasikan oleh kuantitas sapi, dan luasan persawahan. Sehingga instalasi biogas tidak dibangun secara acak dan sekedar melihat potensi di luasan yang sempit, tetapi ada faktor nilai variabel tadi yang mempengaruhi titik lokasi penyebaran instalasi. Variabel ini yang kemudian diproses dalam metode klasterisasi K-Nearest Neighbor dengan cara kerja mengelompokkan tiap titik biogas, sesuai kecenderungan nilai potensi yang ada, serta dipengaruhi oleh titik potensi yang berdekatan . Jadi, akan adanya klaster wilayah yang memunculkan potensi tiap klasternya secara optimal. Optimal dalam hal biaya konstruksi biogas karena value biogas mencapai maksimal, sehingga mengurangi defisit cashflow. Disini bisa ditelaah bahwa variabel yang digunakan merupakan unsur sumber daya ( kuantitas sapi ) dan unsur kebermanfaatan biogas ( lahan persawahan ). Society 5.0 menuntut dampak teknologi yang menginkubasi kebutuhan manusia dan meningkatkan nilai perekonomian. Platform budaya inilah yang merangkum cerita dari eksploitasi optimal sumber biogas hingga mencapai ke kebermanfaatan hasil sampingan biogas, yaitu bio-slurry sebagai produk pupuk organik lahan persawahan. Lalu, mngapa hanya dua variabel ini yang digunakan? Bukankah banyak variabel yang bisa mempengaruhinya ?
Sebagai alasan utama penggunaan variabel ini bahwa sumber
utama biogas ialah kohe (kotoran hewan) sapi. Selain mengandung volume metana
yang besar, sekitar 55-75% total volume, produksi kohe per ekor sapi cukup besar, sekitar
45-55 liter per hari, yang nantinya akan dikalikan dengan kuantitas sapi yang
ada. Dari data statistik ini saja secara kasar kita bisa mengkonversinya
menjadi potensi gas metana yang bisa diproduksikan per hari sekitar 113 juta
liter ( dalam keadaaan paling optimal ). Nilai ini setara dengan 61.472 tabung
LPG 3 kg ( dengan densitas metana sekitar 0.55 kg/m3 ).
Tentunya, dengan klasterisasi terintegrasi biogas, keadaan optimal ini akan
semakin didekati. Hampir semua daerah akan mampu memanfaatkan biogas secara
terintegrasi. Integrasi ini membentuk biosistem-biosistem regional yang lebih
luas cakupannya daripada yang sudah ada. Seperti yang kita ketahui, biosistem
yang ada sekarang hanya sebatas per-desa dan itupun tidak semua desa di suatu
kecamatan atau kabupaten menerapkannya. Padahal, dengan dibentuknya perencanaan
klasterisasi , suatu kecamatan atau kabupaten bisa
memaksimalkan potensi biogas yang ada. Semua desa menjadi tidak terbatas untuk
mengintegrasikan potensi dari satu desa ke desa lainnya. Hal ini memotivasi
terbentuknya integrasi sesuai dengan potensi bahan baku yang ada secara bebas
dan terstruktur. Pada akhirnya, seperti ENSTOG ( European Network of
Transmission System Operators for Gas ) di Eropa, cuplikan ide
klasterisasi terintegrasi biogas ini akan menjadi prototype awal
yang hampir serupa dengan ENSTOG sebagai rujukan grand design biosistem
biogas, tetapi lebih spesialis ke arah biogas untuk gas rumah tangga.Selain
gagahnya potensi sumber biogas, alasan lain karena bio-slurry yang
dapat digunakan sebagai pupuk tanaman misalnya padi . Hal ini koheren dengan
kebutuhan akan pupuk untuk persawahan. Berdasarkan data BPS tahun 2019, total
luasan LBS ( Lahan Baku Sawah ) Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama
se-nasional, yaitu sekitar 1.2 juta hektare. Adanya koherensi yang terang
antara potensi besar kohe dan luasan persawahan, menjadi alasan parameterisasi
dalam penentuan klasterisasi.
Namun,mungkinkah mendapatkan hasil yang optimal dari produksi biogas
tersebut secara sustainable ? Sehingga baik itu
metana dan juga bio-slurry akan stabil produksinya setiap saat. Apakah
klasterisasi yang terintegrasi sudah cukup dalam pengoptimalan ekstraksi sumber
biogas ?
Jawabannya iya dan pasti bisa. Namun klasterisasi terintegrasi saja
tidaklah cukup. Nihil seterusnya jika konektivitas biogas sudah
berkualitas, namun beberapa titik sumber daya akan under
performance karena instabilitas produksi gas. Tentunya,
angka produksi kasar biogas yang besar tadi hanya menjadi maskot semata, tapi
lindap kebelakangya. Atas dasar inilah, skenario pendamping , plattfrom Industry
4.0, yang selalu menuntut digitalisasi pada sektor
krusial dari sistem, akan coba dielaborasikan. Semisal saja IoT, sebagai Automation
Leader, yang menjadi roh semua kegiatan mulai skala minimalis sampai yang
lebih kompleks. Bagaimana tidak, efisiensi dan optimalisasi menjadi tuntutan
primer sebuah proses sehingga apapun modifikasi sistem yang ada
nantinya, akan mencapai level keekonomian yang lebih baik , begitu
pula halnya dengan biogas. Kunci utama masalah instabilitas produksi
sumber biogas ialah set-up parameter-parameter produksi
seperti suhu , pH dan kecepatan pengadukan yang belum ter-otomatisasi.
Monitoring terhadap 3 parameter inilah yang paling diperlukan, sehingga
produksi biogas bisa semaksimal mungkin dan stabil. Nilai suhu 30-37 oC
dan pH 7-7.5 merupakan kondisi optimum produksi biogas pada umumnya. Adapun
yang paling sering dijumpai user yaitu kesulitan memprediksi
kondisi ini, karena mekanis yang diterapkan tergolong manual semisal pengadukan
yang masih dilakukan oleh manusia dan prediksi kondisi masih sebatas penggunaan
indra manusia, seperti mengukur suhu hanya dengan meraba kubah reaktor biogas.
Kebiasaan inilah yang memacu instabilitas produksi terjadi. Bahkan ,ada kalanya
produksi anjlok secara ekstrem. Kalau begitu, bagaimanakah IoT
sebagai problem solver terhadap permasalah ini ?
IoT akan berperan sentral dalam optimasi produksi biogas melalui
monitoring terautomasi dari 3 parameter di atas. Kombinasi sensor dan alat
mekanis akan mengukur parameter tersebut. Ketika pH dan suhu tidak
pada nilai semestinya, rotasi pengadukan akan otomatis menyesuaikan
agar kondisi kembali ke nilai yang optimal. Berdasarkan Biothings
Journal tahun 2019, kondisi optimal biogas akan menambah keuntungan
sebesar 4.5 liter gas per 45 kg kohe. Keuntungan ini setara dengan penambahan
masa penggunaan gas selama 7 hari untuk konsumsi rumah tangga ( sudah dihitung
bersih dengan biaya penambahan teknologi ). Margin inilah yang sebenarnya akan menaikkan level
keekonomian dari penggunaan biogas.
Pada akhirnya, dua pilar utama, yaitu platform Society 5.0 ,
dalam hal ini klasterisasi terintegrasi biogas antar desa, kecamatan dan
kota/kabupaten, serta platform Industry 4.0 , dalam hal ini
implementasi IoT pada instalasi biogas, bertindak sabagai promotor efisiensi
dan eskalator level keekonomian biogas. Ketika level keekonomian dinilai layak,
maka social acceptance akan pesat. Masyarakat Jawa Timur pasti
terbantu dengan terobosan dalam menggunakan potensi raksasa gas hewani ini. Lantas, bilamana terobosan
ini menelurkan titik-titik potensi biogas yang berjalan optimal dan sustainable
di kemudian hari , pantaskah julukan ‘Lumbung Biogas Nasional’ bagi
Jawa Timur disematkan ?
Comments
Post a Comment